Jakarta, Ibukota Seluas Pandanganku

jalan-jakarta

(gambar hanya sebagai ilustrasi)

Jakarta di mataku adalah sebuah jalan besar nan ramai yang seakan tak pernah tertidur. Satu wahana raksasa yang penuh dengan pelik problema kehidupan dan dinamika nafas yang tak pernah berhenti. Tak pernah mengecil dan semakin besar menggelora setiap masanya. Ibarat masakan, Jakarta adalah nasi rames yang berisi berbagai jenis makanan dengan citarasa yang beragam. Mungkin kita suka satu jenis lauknya, namun belum tentu suka lauk lainnya. Demi hidup, mau tidak mau harus dimakan dan ada harga yang harus terbayarkan. Heterogenitas yang tak terhindarkan.

Sejak celah mata ini terbuka di pagi hari, rombongan para petugas kebersihan sudah sibuk membersihkan setiap sudut jalan. Mereka hidup dari sampah yang warga buang, bekerja keras layaknya mempersiapkan “panggung konser” yang akan dipakai setiap harinya. Suara sapu lidi yang khas terdengar nyaring menyertai aroma busuk dan debu yang tak jarang tertiup angin. Beberapa kendaraan pun mulai berlalu-lalang, dimulai para angkot dan dilanjutkan mobil serta motor kaum pekerja ibukota. Bagiku, ini awal yang “cantik” untuk memulai hari.

Matahari tak selamanya berada di timur Jakarta, perlahan naik dan mengarah tepat ke atas kepala. Terik matahari yang menyengat tak segan-segan membakar otak dan hati warga Jakarta tercinta. Panasnya cuaca bersaing dengan panasnya hati, klakson kendaraan bertalu-talu terutama dari mereka yang terlambat karena kecerobohannya sendiri. Asap kelabu pun semakin tebal menempel pada kulit dan perlahan merubah kesegaran menjadi kengerian. Kengerian yang tanpa ujung dan seolah tak akan berakhir.

Jangankan wajah, daun yang berwarna hijau saja berangsur berubah warna menjadi abu-abu. Dalam benakku kemudian muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang sedang terjadi?. Kehidupan wajar atau kehidupan yang dianggap wajar? Pertanyaanku pun mengiringi jarum pendek jam menuju angka 3 sore hari. Para pegawai pemerintahan berbaju coklat pun mulai bertebaran di pinggir jalan menunggu angkutan maupun selingkuhan. Ternyata di balik panasnya gelora persaingan ibukota tetap tersimpan banyak romantika asmara yang membara. Mereka berpacu dapatkan pelampiasan birahi setelah bekerja keras membanting tulang demi mimpi.

pekerjakantor

(gambar hanya ilustrasi)

Deru kendaraan tak terbendung kembali, semakin sore semakin kencang memekakkan  telinga. Kabut asap layaknya embun petang membaurkan kebahagian. Wajah-wajah ceria pagi tadi berubah menjadi kerutan dan kertak gigi. Semua orang tampak lelah dan bergegas mencari tujuan untuk bersantai. Dari obrolan mereka yang kudengar, sebagian memilih kafe untuk santai sebelum pulang, restoran demi memenuhi kebutuhan “kampung tengah” yang tak terbendung, atau bahkan pijat refleksi memulihkan lelahnya diri. Tak sedikit pula yang bertujuan langsung menuju rumah, bertemu keluarga masing-masing dan menghabiskan waktu berkualitas home sweet home nya.

Langit terang perlahan meredup dan menghitam, matahari pun berganti bulan. Angkasa redup namun Jakarta tetap ramai dengan segala hingar bingarnya. Tampak para pedagang kaki lima mulai menjajakan sajian jalanan pengisi perut, para makhluk malam pun mulai bertebaran. Lampu-lampu kota mulai dinyalakan dan warga pekerja sepertinya berganti para penikmat kelam.Hembusan angin terasa sejuk tetapi aku sulit untuk membedakan antara udara dengan polusi dan tiupan angin dingin dari dalam toko swalayan populer di pinggiran jalan ini. Kehidupan malam ibukota pun sudah dimulai.

Kaki-kaki jenjang nan seksi tampak mulai melangkah menghiasi trotoar kumuh penuh sampah. Pinggul-pinggul yang berlenggak-lenggok dengan piawainya mulai dipamerkan di pinggiran tempatku berdiri. satu atau dua makhluk cantik bak mahakarya Dewata ini lewat tepat di depanku meninggalkan aroma wangi yang memuncakkan gairah terselubungku. Senyum-senyum nakal pun tersungging di wajah mereka menemani malam ini. Hingga akhirnya, sebelum tengah malam habis mereka pun ikut habis terbawa oleh deretan mobil mewah yang membukakan pintu selebar-lebarnya untuk mereka. Seksinya para dara itu pun digantikan kembali oleh pasukan sapu lidi yang bekerja shift malam. Malam semakin dingin disertai suara sapu yang parau terdengar, lalu kemudian menghilang perlahan.

wanita-panggilan

(gambar hanya ilustrasi)

Jakarta oh Jakarta, ibukota tercinta Republik Indonesia. Bahagia sekaligus sesak menjadi bagian hiruk pikuknya metropolitan ini. Sedih mendengar tangis kaum papa di sebelah tempatku berada. Marah mendengar teriakan para”jagoan” bermotor yang tak kalah keras dengan suara kuda besi tunggangan mereka. Hingga akhirnya, malam ini kudengar suara jangkrik bernyanyi menutup indahnya malam.

Wahai kalian manusia yang seharusnya bersyukur tidak menjadi tiang listrik yang terbujur tegak berdiri tak beranjak seperti diriku….

…Sampai jumpa esok hari, hari berikutnya, bahkan mungkin selamanya.