UFO

029486300_1492588193-istock_000015806002small_wide-a18b23e5230e0c41f0923d72efec4a04b691374e

Aku sedang menganalisa diriku. Hari ini aku membuka mata dengan sebuah perasaan yang sulit kuidentifikasi. Berawal santai, tiba-tiba sedih, marah, senang, lalu menuju takut, bingung, kemudian sedih lagi, marah dan terus berganti. Semua terjadi secara acak dan tidak dapat kudeteksi kenapa, bagaimana, maupun apa yang harus dilakukan dalam kondisi ini. Aku menyebutnya Unidentified Feelings Object (UFO).

Sebenarnya, ada beberapa kejadian yang dapat menjelaskan beberapa perasaan (hanya beberapa). Misalnya, rasa senang karena ada seseorang yang kusukai dan setelah beberapa waktu menjadi secret admirer-nya, akhirnya aku bisa ngobrol dengan cukup panjang, walaupun topiknya busuk; kemudian rasa bingung karena aku punya kewajiban untuk menambah modal usaha kopi yang kubangun bersama beberapa teman, sayangnya sampai saat ini aku nggak tahu lagi harus mendapatkannya dari mana. Satu-satunya harapanku, yaitu ayahku terlihat tak sanggup membantuku soal ini; dan perasaan sedih yang kudapat karena aku rindu ibuku. Hanya ini, selebihnya aku tidak paham sama sekali.

Kegelisahan ini berlanjut hingga aku menaiki kuda besi yang siap mengantarku ke kantor. Sepanjang jalan, lagu “country road” yang di-coverĀ secara acapella justru membuatku semakin merasa sendu. Ada rindu di sela rasa-rasa ini, tapi entah rindu tentang apa.

Aku semakin sulit untuk menghentikan segala pikiran yang berkembang tanpa henti ini, sepertinya makin membingungkan. Di lain sisi, rasa-rasa tadi terus berganti dalam fase yang lumayan cepat. Aku sadar, mood ku sangat mungkin ikut berganti dalam waktu yang cepat. Aku harus menjalani hari ini dengan waspada. Tanpa kusadari, aku baru saja memasukkan satu rasa lagi dalam rentetan UFO ini.

Aku merasa sejenak seperti ada hal yang akan terjadi, entah itu apa. Lalu, tetiba aku kesal dengan semua yang sudah terjadi dan tidak berhasil. Aku bisa takut menghadapi yang sama sekali belum kuketahui. Hingga akhirnya, aku diam karena tidak paham apa yang sedang terjadi di benak ini.

d0555-benang_ruwet

Sesekali, gambaran wajah itu membayangiku, perempuan baru yang entah kenapa menyita perhatianku sejak pertama melihatnya. Memang, dia sekilas mirip dengan wanitaku saat ini, yang juga sepupuku itu. Mungkinkah aku hanya mencari versi lain dari wanitaku, atau aku memang benar terpesona dengan perempuan di ‘ladang’ itu?

Selang beberapa detik menikmati perasaan itu, gambaran ibuku yang meninggal Agustus lalu mengoyak relung hati terdalam. Isyaratkan hatiku bahwa aku sudah tak punya ibu yang begitu menyayangiku tanpa syarat. Aku yakin sayangnya masih ada, tapi raga tak bisa berdusta telah tiada. Sedih dan terus meresap ke bawah sadar ini. Aku hanya bisa menghela nafas.

Sekelibat, terbayang isi dompetku yang mulai kosong, rekening tak lagi dapat memberi penghidupan. Ini busuk! Uangku habis, padahal tanggal ini masih satu digit. Entah aku besok hidup dari apa. Hebatnya, aku tak begitu kuatir soal ini, aku yakin “bahan bakar” ini baik-baik saja.

Hitungan detik berikutnya membawaku dalam fakta belum ada biaya untuk bisnis yang kujalani. saat ini sedang berkembang dan butuh asupan dana yang cukup. Saat pertama berdiri, ayahku sempat menyinggung soal modal yang kugocek dari kantongku sendiri. Ia bertanya kenapa aku tak meminta ke dia sebagai ayahku. Hal ini menjadi dasar, ketika saat ini aku sedang membutuhkan modal baru. Sayangnya, ketika aku sampaikan maksud itu, ayahku menolak secara halus dengan kata-kata ‘belum ada’. Tidak masalah, tapi ini membingungkanku.

Perasaan-perasaan aneh ini terus berotasi tanpa henti tanpa bisa kupahami. Alih-alih aku mengerti, kebingungan justru membombardir kesadaran ini. Semakin aku memaksa masuk dan mencari tahu, semakin aku tersesat dan nggak mendapat jalannya. Akhirnya aku terdiam dan memutuskan menuliskannya.

57ae8d3443142-tiga-cara-sederhana-tenangkan-pikiran-yang-sedang-ruwet_665_374

Apa yang kurasakan ini aku tahbiskan sebagai bagian dari kehidupan yang kujalani. Sulit, namun ini akan terus ada dan “show must go on“, benar kan? Biarlah semesta yang akan mengaturnya dan berkonspirasi satukan cita-cita Sang Kuasa. Aku masih di sini dan terus berusaha menikmati.

UFO I phosphone I 2020

ORANG KITA

friends

Manusia sebagai salah satu warga bumi memiliki heterogenitas yang amat beragam. Jangankan bicara pekerjaan atau status sosial, berbagai hal yang sifatnya genetik pun dimiliki manusia dengan sangat beragam. Ras, suku, bahkan karakter maupun sifat menghadirkan sebuah mahakarya “sang pencipta” yang bisa dikatakan rumit dan mutakhir.

Keberagaman ini sudah tentu tidak sama dengan keseragaman, namun manusia nyatanya memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasikan dirinya bersama segala sesuatu yang selaras (atau dapat dibilang sama) dengan dirinya. Baik itu kesukaan seperti hobi atau selera makan, atau rasa ingin berkumpul dengan orang lain yang satu “seragam” dengan dirinya.

Kecenderungan ini seringkali kita lihat misalnya pada perkumpulan satu suku (ada banyak di Indonesia: perkumpulan suku batak, suku ambon, atau kawanua-manado); kemudian klub pencinta vespa; para moviegoers; hingga ikatan alumni sekolah atau universitas yang memiliki ikatan begitu kuat.

Ikatan-ikatan ini terkadang tersusun atas kesamaan atau keseragaman. Tidak jarang, ikatan ini bahkan lebih kuat daripada ikatan darah dalam keluarga. Salah satu yang dapat menjelaskan hal ini misalnya “korsa” di profesi tentara atau polisi. Atas dasar “korsa” ikatan dalam profesi militeristik ini menjadi kuat menyatukan individu-individu di dalamnya, sampai bisa munculkan sikap saling menutupi “aib” sesamanya.

Terlepas dari dampak negatif dari “korsa” tadi, ada satu fenomena yang terkait hal ini dan sering menjadi jargon ketika satu individu atau kelompok manusia mengindentifikasikan kesamaan dengan individu atau kelompok lainnya. Saya lebih suka menyebut fenomena ini dengan istilah “ORANG KITA”.

Pada sebuah kesempatan, saya berbincang dengan seorang teman yang bercerita bahwa di kantor tempatnya bekerja lebih banyak diisi oleh lulusan sebuah universitas ternama di Yogyakarta (sebut saja UGM, hehehe). Hal ini terjadi karena direktur perusahaan tersebut juga lulusan kampus negeri tersebut. Menurut teman saya, alasan sang direktur lebih menyukai lulusam UGM adalah karena memiliki kedekatan secara emosional dan historis edukasi. “ya, ‘orang kita’ kita juga lah,” ujarnya.

Bagi sebagian orang, istilah ‘orang kita’ ini erat kaitannya dengan konsep nepotisme yang bersanding mesra bersama korupsi dan kolusi dalam KKN. Bahkan, banyak sekali perekrutan atas dasar ‘orang kita’ yang berujung pada kinerja tidak baik karena tidak mempertimbangkan faktor kemampuan yang mumpuni.

Namun demikian, bagi sebagian orang lainnya, ‘orang kita’ dapat dilihat sebagai relasi atau channel yang perlu dilestarikan. Bagi mereka, mungkin suatu saat bantuan yang diberi akan menjadi sebuah “berkat” saat sebaliknya mereka butuh bantuan.

Bagi saya, hal ini hanyalah pilihan yang tentu memiliki konsekuensi saat sudah dipilih. Tidak ada yang salah mau melihat istilah ‘orang kita’ dengan cara apapun, hanya saja kita perlu menyadari resiko dan siap menerima berbagai konsekuensi yang mungkin terjadi.

Memilih rekan berdasarkan ‘orang kita’ tidak selalu negatif. Banyak terbukti, bekerja dengan orang yang memiliki latar belakang sama dengan kita justru meningkatkan kualitas kerja, misalnya dalam hal komunikasi dan koordinasi. Sebaliknya, tidak salah juga untuk tidak memilih ‘orang kita’ sebagai tim dalam kehidupan, nyatanya perbedaan sudah menjadi faktor yang justru dapat melengkapi satu individu dengan individu lainnya.

Tapi, hal buruk dari ‘orang kita’ juga berpotensi memunculkan berbagai macam polemik yang dapat melunturkan nilai-nilai positif kehidupan. Salah satunya, “korsa” yang dapat membuat para individu dalam satu kelompok saling menutupi “aib” satu dengan lainnya.

Friendship-incity-magazine

Bagi saya, bersikap fleksibel lebih baik untuk dilakukan. Artinya, saat resiko menerima atau memilih ‘orang kita’ tidak terlalu besar dan masih dapat diatasi, saya akan melakukannya dengan alasan membantu saudara/sahabat/keluarga. Namun, bila fenomena ‘orang kita’ ini dirasa menyalahi banyak aturan dan merugikan banyak orang (seperti pada proses penerimaan Pegawai Negeri Sipil), saya memilih untuk tidak melakukannya sekalipun yang meminta bantuan masih ada hubungan darah dengan saya.

Bersikap fleksibel cukup penting bagi saya, karena dalam fase inilah penyaringan antara hal baik dan buruk terjadi. Tidak ada kebaikan yang abadi, begitu juga keburukan, segalanya relatif dan kembali pada kesiapan kita menghadapi dampak yang ditimbulkan.

Akhirnya, dengan sikap yang saya ambil, fenomena ‘orang kita’ dapat menjadi faktor yang menguatkan sekaligus bencana yang dihindarkan. Semoga pandangan ini bisa menjadi manfaat bagi kehidupan di semesta.

@phosphone I orangkita I 2020