ORANG KITA

friends

Manusia sebagai salah satu warga bumi memiliki heterogenitas yang amat beragam. Jangankan bicara pekerjaan atau status sosial, berbagai hal yang sifatnya genetik pun dimiliki manusia dengan sangat beragam. Ras, suku, bahkan karakter maupun sifat menghadirkan sebuah mahakarya “sang pencipta” yang bisa dikatakan rumit dan mutakhir.

Keberagaman ini sudah tentu tidak sama dengan keseragaman, namun manusia nyatanya memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasikan dirinya bersama segala sesuatu yang selaras (atau dapat dibilang sama) dengan dirinya. Baik itu kesukaan seperti hobi atau selera makan, atau rasa ingin berkumpul dengan orang lain yang satu “seragam” dengan dirinya.

Kecenderungan ini seringkali kita lihat misalnya pada perkumpulan satu suku (ada banyak di Indonesia: perkumpulan suku batak, suku ambon, atau kawanua-manado); kemudian klub pencinta vespa; para moviegoers; hingga ikatan alumni sekolah atau universitas yang memiliki ikatan begitu kuat.

Ikatan-ikatan ini terkadang tersusun atas kesamaan atau keseragaman. Tidak jarang, ikatan ini bahkan lebih kuat daripada ikatan darah dalam keluarga. Salah satu yang dapat menjelaskan hal ini misalnya “korsa” di profesi tentara atau polisi. Atas dasar “korsa” ikatan dalam profesi militeristik ini menjadi kuat menyatukan individu-individu di dalamnya, sampai bisa munculkan sikap saling menutupi “aib” sesamanya.

Terlepas dari dampak negatif dari “korsa” tadi, ada satu fenomena yang terkait hal ini dan sering menjadi jargon ketika satu individu atau kelompok manusia mengindentifikasikan kesamaan dengan individu atau kelompok lainnya. Saya lebih suka menyebut fenomena ini dengan istilah “ORANG KITA”.

Pada sebuah kesempatan, saya berbincang dengan seorang teman yang bercerita bahwa di kantor tempatnya bekerja lebih banyak diisi oleh lulusan sebuah universitas ternama di Yogyakarta (sebut saja UGM, hehehe). Hal ini terjadi karena direktur perusahaan tersebut juga lulusan kampus negeri tersebut. Menurut teman saya, alasan sang direktur lebih menyukai lulusam UGM adalah karena memiliki kedekatan secara emosional dan historis edukasi. “ya, ‘orang kita’ kita juga lah,” ujarnya.

Bagi sebagian orang, istilah ‘orang kita’ ini erat kaitannya dengan konsep nepotisme yang bersanding mesra bersama korupsi dan kolusi dalam KKN. Bahkan, banyak sekali perekrutan atas dasar ‘orang kita’ yang berujung pada kinerja tidak baik karena tidak mempertimbangkan faktor kemampuan yang mumpuni.

Namun demikian, bagi sebagian orang lainnya, ‘orang kita’ dapat dilihat sebagai relasi atau channel yang perlu dilestarikan. Bagi mereka, mungkin suatu saat bantuan yang diberi akan menjadi sebuah “berkat” saat sebaliknya mereka butuh bantuan.

Bagi saya, hal ini hanyalah pilihan yang tentu memiliki konsekuensi saat sudah dipilih. Tidak ada yang salah mau melihat istilah ‘orang kita’ dengan cara apapun, hanya saja kita perlu menyadari resiko dan siap menerima berbagai konsekuensi yang mungkin terjadi.

Memilih rekan berdasarkan ‘orang kita’ tidak selalu negatif. Banyak terbukti, bekerja dengan orang yang memiliki latar belakang sama dengan kita justru meningkatkan kualitas kerja, misalnya dalam hal komunikasi dan koordinasi. Sebaliknya, tidak salah juga untuk tidak memilih ‘orang kita’ sebagai tim dalam kehidupan, nyatanya perbedaan sudah menjadi faktor yang justru dapat melengkapi satu individu dengan individu lainnya.

Tapi, hal buruk dari ‘orang kita’ juga berpotensi memunculkan berbagai macam polemik yang dapat melunturkan nilai-nilai positif kehidupan. Salah satunya, “korsa” yang dapat membuat para individu dalam satu kelompok saling menutupi “aib” satu dengan lainnya.

Friendship-incity-magazine

Bagi saya, bersikap fleksibel lebih baik untuk dilakukan. Artinya, saat resiko menerima atau memilih ‘orang kita’ tidak terlalu besar dan masih dapat diatasi, saya akan melakukannya dengan alasan membantu saudara/sahabat/keluarga. Namun, bila fenomena ‘orang kita’ ini dirasa menyalahi banyak aturan dan merugikan banyak orang (seperti pada proses penerimaan Pegawai Negeri Sipil), saya memilih untuk tidak melakukannya sekalipun yang meminta bantuan masih ada hubungan darah dengan saya.

Bersikap fleksibel cukup penting bagi saya, karena dalam fase inilah penyaringan antara hal baik dan buruk terjadi. Tidak ada kebaikan yang abadi, begitu juga keburukan, segalanya relatif dan kembali pada kesiapan kita menghadapi dampak yang ditimbulkan.

Akhirnya, dengan sikap yang saya ambil, fenomena ‘orang kita’ dapat menjadi faktor yang menguatkan sekaligus bencana yang dihindarkan. Semoga pandangan ini bisa menjadi manfaat bagi kehidupan di semesta.

@phosphone I orangkita I 2020

Leave a comment